SIMAMORA DO AU

PUTRA PALUTA

EKONOMI KERAKYATAN DI NTT: ANTARA REALITAS DAN HARAPAN

>> 07 Januari 2010



 

Realitas Pelaku Ekonomi Kerakyatan di NTT


Rakyat adalah suatu konsep politik yang netral. Komsep ini tidak mempersoalkan perbedaan orang dalam kepelbagaian sosial, ekonomi dan budayanya. Semuanya sama. Ketika konsep rakyat diimbuhkan dengan konsep ekonomi politik yang tidak lagi netral, karena berbagai perbedaan pelaku ekonomi mulai diperhitungkan. Dalam kajian ini, konsep ekonomi kerakyatan yang digunakan juga tidak bersifat netral, yaitu hanya menunjuk pada pelaku ekonomi kecil (gurem) yang tersebar di sudut-sudut jalan perkotaan maupun di pelosok perdesaan.

Di NTT, pelaku ekonomi sebagaimana dimaksud pada umumnya terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan. Bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas perkebunan seperti Cengkeh, Kopi, Vanili, Jambu Mete, tingkat ekonomi mereka cukup memadai. Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di pesisir pantai dikabarkan mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut. Di Apui (Alor), sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat penghasilan yang cukup besar lantaran harga komoditas ini cukup tinggi. Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan. Para peternak di TTS, betapapun daerah ini dikenal sebagai gudang ternak (sapi), tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik ketimbang para petani yang menanam tanaman pangan. Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat digolongkan mampu secara ekonomis.

Para pelaku ekonomi kecil di sektor informal perkotaan juga memperlihatkan kondisi yang relatif sama, walaupun mungkin pendapatan nominalnya lebih besar dari para peternak kecil, petani kecil dan nelayan kecil di perdesaan. Kecuali beberapa pelaku ekonomi informal yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Sumatra yang pada umumnya berusaha di pusat kota, kinerja ekonomi mereka terbilang cukup baik. Data makro tentang pendapatan per kapita penduduk di berbagai kabupaten di NTT bisa menjelaskan kondisi ekonomi para pelaku ekonomi kecil tersebut.

Tampilan fisik usaha para pelaku ekonomi kecil ini juga memperihatinkan. Selain berjualan secara individual di pasar, mereka juga menggelar hasil usahanya di pinggir jalan secara darurat. Mungkin juga tidak setiap hari mereka bisa berjualan di pasar atau pinggir jalan karena pola produksinya yang bersifat musiman. Unit usaha industri kecil atau rumah tangga yang paling menonjol di NTT adalah industri tenun ikat. Sejumlah kelompok usaha yang dibina intensif dengan kondisi SDM yang relatif baik menunjukkan perkembangan yang baik, namun tidak sedikit kelompok dan usaha individu menjadikan industri tenun ikat sebagai pekerjaan sampingan dengan postur usaha yang serba kekurangan. Tampaknya program-program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan ekonomi seperti IDT, PDMDKE dan berbagai skim program/ pendanaan lainnya belum menyentuh mereka atau mungkin sentuhannya sudah hilang sama sekali.

Inilah kondisi riil pelaku ekonomi kerakyatan di NTT. Pada tataran political will pemerintah, pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kekurangan ini ingin ditempatkan sebagai pelaku ekonomi utama, fondasi perekonomian daerah dan sejumlah julukan yang membanggakan. Pemerintah, dari pusat sampai daerah, telah melakukan banyak hal untuk memajukan mereka, tetapi kondisinya tetap seperti kita saksikan saat ini, sebagian besar dalam kondisi serba miskin.

Data ekonomi makro Indonesia bahwa share pelaku ekonomi kecil ini cukup kelihatan. Para pengamat ekonomi memuji pelaku ekonomi kecil ini sebagai lentur dan tahan terhadap konjungtus dan krisis ekonomi. Pujian demikian tidak salah, namun pelaku ekonomi kecil semacam ini pasti buka di NTT. Pada titik inilah kita harus membedakan secara jelas petani kecil, peternak kcil, nelayan kecil, pelaku industri rumah tangga kecil dan pelaku ekonomi sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia dengan NTT. Lingkungan ekonomi makro dan mikronya sangat kontras berbeda. Suatu isyarat bahwa suatu kebijakan pengembangan yang berhasil di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia belum tentu berhasil di NTT.

Menurut hemat saya, menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kecil dan kekurangan di NTT sebagai pemain ekonomi yang utama atau sebagai fondasi ekonomi daerah, masih membutuhkan waktu yang relatif lama dan yang lebih penting dari itu, membutuhkan wawasan dan perlakuan baru terutama dari para penentu dan pelaksana kebijakan pada tingkat pemerintahan. Secara teoretis, kita mengenal cukup banyak konsep pemberdayaan usaha kecil seperti kemitraan, bapak angkat, inti-plasma dan sebagainya. Konsep-konsep ini telah diadopsi sedemikian rupa ke dalam berbagai program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta, tetapi belum berhasil mengeluarkan para pelaku ekonomi kecil dari lingkaran yang serba kekurangan.

Jauh dari Permintaan dan Miskin Kelembagaan


Salah satu persoalan yang menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan di perdesaan NTT sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih penting adalah aksesibilitas. Mereka memasuki pasar pembeli (buyer market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Petani Vanili di Apui (Alor) yang baru saja menikmati harga vanili yang tinggi, saay ini mulai merasakan bahwa harga vanili sangat ditentukan oleh pembeli (pedagang skala menengah dan besar). Para peternak di TTS sudah sejak lama takluk dengan para pembeli (pedagang). Penghasil rumput laut di Rote dan Sabu juga mulai merasakan betapa fluktuasi harga yang terjadi sulit mereka kendalikan. Sementara itu sebagian nelayan di Pulau Timor secara perlahan-lahan telah bertransformasi menjadi buruh nelayan.

Para pembeli memiliki organisasi yang solid. Mereka bahu-membahu menjalin kekuatan untuk menguasai dan mendikte harga pasar. Organisasi pembeli yang kuat tersebut tidak bisa dilawan oleh para petani secara individual. Organisasi harus dilawan dengan organisasi pula, agar tercapai keseimbangan posisi tawar di pasar. Apakah koperasi sebagai lembaga ekonomi yang dekat dengan para petani, nelayan, peternak, pengrajin dan pedagang kecil dapat menjadi organisasi ekonomi yang diandalkan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di pasar? Sangat sulit untuk mengatakan Ya. Kita masih membutuhkan wadah ekonomi lain atau sekurang-kurangnya cara penanganan pasar sedemikian rupa sehingga aksesibilas pasar dan posisi tawar mereka dapat ditingkatkan. Dalam kaitan ini menarik untuk disimak lebih lanjut langkah Pemda Kabupaten Kupang. Dua Perusahaan Daerah, masing-masing bergerak di bidang kelautan dan agribisnis didirikan sebagai outlet bagi para pelaku ekonomi kecil. Sekiranya langkah ini mampu meningkatkan posisi tawar para pelaku ekonomi kecil dan mampu meningkatkan kinerja ekonomi mereka, maka inilah salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan untuk direplikasi pada daerah lain.

Formasi Ekonomi Makro dan Mikro


Salah satu keuntungan pelaku ekonomi kecil dan sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya adalah struktur ekonominya telah terdiversifikasi dengan baik sehingga hubungan fungsional antar sektor ekonomi (pertanian, industri, perdagangan, perhubungan dan lembaga keuangan) telah terjadi dengan baik. Kondisi ini sangat kondusif bagi para pelaku ekonomi kecil. Dengan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tinggi serta kompetisi yang baik antar sektor ekonomi menjadikan outlet bagi produk pelaku ekonomi kecil cukup tersedia dengan insentif harga yang memadai. Demikian juga pada tataran ekonomi mikro, dinamika dunia usaha yang relatif tinggi menjadi media pembelajaran yang efektif dalam pembentukan perilaku ekonomi yang rasional dan produktif. Sikap kewiraswastaan mereka terbentuk dalam dinamika dunia usaha yang tinggi, bukan melalui pelatihan-pelatihan formal. Inilah formasi ekonomi makro dan mikro yang sangat kondusif bagi pelaku ekonomi kecil di Jawa dan kota besar lainnya untuk berkembang.

Di NTT, struktur ekonomi belum terdiversifikasi dengan baik menjadikan hubungan fungsional antar sektor ekonomi belum terjalin baik. Share sektor pertanian sangat menonjol sementara share sektor industri sangat kecil. Pada sisi lain share sektor perdagangan dan perhubungan sedikit agak menonjol. Dari kondisi semacam ini dapat dibayangkan bahwa yang diperdagangkan adalah komoditas pertanian tanpa penglahan yang berarti. Ciri pasar komoditas semacam ini adalah harga relatif rendah dan inferior terhadap komoditas hasil olahan yang diimpor dari luar. Para pelaku ekonomi kecil tidak menikmati nilai tambah dari komoditas yang dihasilkan.

Dalam kondisi semacam ini, pengembangan pelaku ekonomi kecil membutuhkan perubahan yang cukup berarti pada formasi ekonomi makro dan mikro. Perlu ada kebijakan untuk percepatan perubahan struktur ekonomi NTT agar keterkaitan fungsional antar sektor ekonomi dapat tercipta. Berkembangnya sektor ekonomi sekunder dan tersier menjadi prasyarat bagi pengembangan dunia usaha pada aras ekonomi mikro. Menjadi persoalan adalah bagaimana percepatan perubahan struktur ekonomi ini dapat terjadi. Secara teoretis, perubahan struktur ekonomi akan terjadi bila aliran investasi pada sektor industri pengolahan (sekunder) meningkat. Sektor rkonomi tersier adalah sektor yang melayani. Karena itu sektor ini akan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi pada sektor primer dan sekunder.

Berkembangnya sektor ekonomi sekunder akan menciptakan peluang bagi dinamika dunia usaha. Perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaan merupakan fungsi dari dinamika dunia usaha. Jangan dipaksakan dengan berbagai pelatihan kewirausahaan bila formasi ekonomi makroo dan mikro tidak kondusif. Dorong perkembangan dunia usaha melalui percepatan perubahan struktur ekonomi, agar tercipta media pembelajaran yang luas bagi pelaku ekonomi kecil untuk mematangkan perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaannya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan pelaku ekonomi kerakyatan dapat berkembang menjadi fondasi ekonomi yang kokoh bagi perekonomian daerah.

Ancangan Perencanaan


Berbagai perubahan yang diinginkan terhadap pelaku ekonomi kecil butuh perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik muncul dari suatu visi pengembangan usaha kecil yang jelas pula. Pertanyaannya, adakah visi kita yang jelas tentang usaha kecil? Cukupkah dokumen perencanaan yang ada (Poldas, propeda dan Renstra) memberi tempat bagi pengembangan usaha kecil secara terpadu dan berkesinambungan? Bagaimana strateginya menjadikan usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian daerah?

Sampai sejauh ini kita belum melihat adanya visi yang jelas tentang pelaku ekonomi kecil, selain retorika tentang mereka. Menurut hemat saya, Kepala Daerah harus berani merumuskan visi yang jelas tentang pengembangan pelaku ekonomi kerakyatan. Bila pemerintah menginginkan pelaku ekonomi kecil menjadi fondasi perekonomian daerah, maka Kepala Daerah harus berani merumuskan visi bahwa dalam jangka waktu lima atau 10 tahun mendatang, PDRB NTT akan didominasi share pelaku ekonomi kecil. Visi semacam ini diperlukan agar ada komitmen dan daya paksa untuk menjabarkan visi tersebut dalam perencanaan yang baik.

Berkaitan dengan representasi pengembangan usaha kecil dalam dokumen perencanaan yang ada, harus diakui bahwa format perencanaan standar yang ada saat ini (Poldas, Propeda dan Rentra) tidak memungkinkan rencana pengembangan pelaku ekonomi kecil sebagai inti dari pengembangan ekonomi rakyat diakomodasi dengan baik. Karena itu perlu terobosan dari sisi perencanaan. Rencana Pengembangan Pelaku Ekonomi Kecil dapat dijadikan subsidiary plan dari Propeda atau Renstra yang keabsahannya dilegitimasi juga oleh Perda. Subsidiary plan adalah produk perencanaan sejumlah instansi yang berkaitan langsung dengan usaha kecil yang penyusunannya dikoordinasi Bappeda dan melibatkan representasi pelaku ekonomi skala menengah dan besar. Dari segi pendanaan tidak ada masalah, karena dalam format APBD yang baru, yang menggunakan program sebagai nomenklatur generik serta format pengusulan untuk mendapatkan pembiayaan dekonsentrasi, pembiayaan terhadap subsidiary plan tersebut dapat diakomodasi.

Subsidiary plan tersebut paling kurang berisikan lima hal pokok yaitu Visi dan Misi, strategi yang digunakan, program-program lintas instansi yang akan dilaksanakan, pembiayaan dan guide line pengelolaannya. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian mendalam mengenai eksistensi pelaku ekonomi kecil saat ini. Seluruh program yang berkaitan dengan mereka perlu dievaluasi tuntas dan yang paling penting mesti ada wawasan baru tentangnya. Misalnya dalam perumusan kebijakan fiskal daerah (APBD), sebagian dari pos belanja modal yang dianggarkan dapat diarahkan sebagai kapitalisasi pelaku ekonomi kecil. Denganstrategi, pedekatan, program aksi dan pengelolaan yang jelas, kapitalisasi pelaku ekonomi kecil tersebut dapat menjadi pemicu bagi berkembangnya aktivitas usaha pelaku ekonomi kecil.

Perlu Regulasi bagi Pelaku Ekonomi Kecil

Esensi regulasi adalah untuk menciptakan keteraturan, kepastian hukum dan komitmen yang jelas dalam pengembangan UKM. Bila urusan-urusan ekonomi lainnya diregulasi oleh Pemerintah Daerah, maka perangkat hukum dalam bentuk Perda tentang pelaku ekonomi kecil atau UKM perlu dibuat. Perda ini sangat penting, terutama bagi pelaku UKM untuk menuntut dan mengontrol pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam mengembangkan UKM. Tanpa Perda ini, wacana tentang UKM ibarat macan ompong. Gaungnya kedengaran keras di mana-mana, tetapi ia tak punya gigi. Demikianlah beberapa pokok pikiran tentang pengembangan ekonomi kerakyatan di NTT. Semoga berguna. Sekian.

0 komentar: